Regionalisme dan Integrasi.
Sambaranews, – Kondisi krisis yang menimpa perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa pasca Covid 19 dan Perang Rusia – Ukraina masih dalam proses pemulihan hingga sekarang telah membuat beberapa negara Asia terutama Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan mulai melakukan diversivikasi pasar dan tujuan investasi dan peningkatan kerja sama ekonomi ke kawasan lain.
ASEAN yang merupakan organisasi regional untuk kawasan negara-negara di Asia Tenggara telah menjadi salah satu primadona, karena gairah pertumbuhan dan pasarnya yang besar.
Berbanding denga Eropa di mana regionalisasi di buat untuk menciptakan keistimewaan dan area yang terlindungi, sebaliknya di Asia Timur berdasarkan keanggotaan yang terbuka dan liberalisasi global.
Dan bentuk ini disebut “open-regionalism” yang terbentuk di dalam APEC. Pasca krisis finansial 2009, ASEAN+3 menemukan momentumnya sebagai “open-regionalism” tersebut.
Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan memanfaatkan ini untuk menjadi penghubung ekonomi regional dan global, yang membuat Tiongkok , Jepang dan Korea Selatan mampu membangun perdagangan bebas dengan AS dan UE (Global), dan di saat yang sama perdagangan bebas dengan ASEAN (Regional) (Woosik Moon: 2011).
Regionalisme dan Integrasi pada awalnya di kawasan Asia Timur dianggap tertinggal di banding kawasan lain, walau proses integrasi itu terus berlanjut (Chang Jae Lee: 2008).
Regionalisme di kawasan Asia Timur dan Tenggara menemukan momentumnya berangkat dari krisis global yang berpusat di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang memiliki hubungan perdagangan yang kuat dengan negara-negara Asia Timur sehingga memiliki resiko yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sehingga, perdagangan inter-regional di pandang potensial sebagai mesin alternatif pertumbuhan ekonomi. ASEAN+3 di anggap mewakili trend ini (Donghyun Park, Inwon Park dan Gemma Esther B. Estrada: 2012).
Implementasi dan Transformasi ASEAN+3.
Globalisasi pada abad 21 dan wabah Covid 19 telah membawa tantangan untuk bidang kesehatan, yang berakibat negara tidak bisa lagi total bertanggung jawab untuk kesehatan masyarakat nya, karena semakin meluasnya aktor dan stakeholders yang terlibat. Sehingga peranan dan potensi organisasi regional seperti ASEAN dalam mengatasi persoalan kesehatan semakin penting dan mendesak (Marie Lamie and Kai Hong Phua: 2012).
ASEAN merelasikan tata kekelola pemerintahan dengan kebijakan nasional, yang akan berkorelasi dengan level supranasional/antar pemerintah regional yang bertujuan antara lain; di bidang finansial untuk menstimulasi penelitian dan pembangunan, meningkatkan penyebaran teknologi, mengurangi perbedaan manajerial dalam menjalankan bisnis dan melaksanakan sistem untuk perubahan yang lebih baik (V. Rodriguez and A. Soeparwata: 2012).
ASEAN menunjukkan peran penting negara dan pemerintah (state-sentric) dalam mempromosikan industri dalam negeri untuk merebut pasar yang lebih besar, sehingga mampu menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan. Serta menunjukkan peran aktif pemerintah di dalam integrasi, yang sebelumnya dianggap merupakan monopoli dari industri.
Dan ASEAN berupaya menerapkan PTA (preferential trade agreements), FDI (foreign direct investment), merger dan akuisisi dengan tujuan untuk meningkatkan kesehjateraan dan kebijakan kompetisi (Toby Kendall and Cillian Ryan: 2009).
Produktifitas efek limpahan dari FDI Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan yang mengalir ke negara-negara ASEAN. Dan pada hasil uji penelitian menggunakan pendekatan langsung dan tidak langsung telah menunjukkan bukti kuat bahwa FDI menyebabkan pertumbuhan produktifitas di negara-negara ASEAN, yang memiliki korelasi antara prediksi teoritis terkait hubungan FDI dan produktifitas limpahan (Nathapornpan Piyaareekul Uttama dan Nicolas Peridy: 2010).
Kebijakan kompetisi juga telah membawa perubahan secara dinamis keunggulan komparatif antara ASEAN, Tiongkok, Korea Selatan dan Jepang. Dengan menggunakan metode statistik dan ekonometrik index RSCA (revealed symmetric comparative advantage), telah dibuktikan bahwa keunggulan komparatif semakin meningkat di antara negara-negara ASEAN + 3, yang ditopang peningkatan produksi yang semakin de-spesialisasi. Dan hampir semua negara ASEAN + 3 (selain Jepang yang sudah lebih dulu) mulai merubah strategi ekonomi dan perdagangannya dari raw-material ke manufaktur (Tri Widodo: 2009).
Selaint itu, penerapan FTA (free trade agreement) antara ASEAN+3 telah membawa dampak yang menguntungkan bagi semua anggota, berdasarkan 3 faktor;
1. Adanya dan harapan jaringan investasi FDI vertikal antara Tiongkok, Jepang atau Korea Selatan dengan negara-negara anggota ASEAN.
2. Adanya harapan efek positif dari pertumbuhan ekonomi China
3. Adanya perbedaan ekonomi yang variatif antara negara-negara anggota ASEAN+3.
Dan timbul pertanyaan, negara manakah yang akan unggul di ASEAN; apakah Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan ?, ternyata tiap negara tersebut ada keunggulan masing-masing, sehingga pola interaksi yang terjadi saling menguntungkan satu sama lain, walau dari sisi perdagangan Tiongkok tetap lebih unggul (Yum K. Kwan and Larry D. Qi: 2010). *(*)