Samabaranews, Jakarta – Konflik antara Israel dan militan Palestina, Hamas, menyebabkan beberapa sektor bisnis terpengaruh, mulai dari industri penerbangan hingga perusahaan konsumer atau ritel yang merasakan dampak dari aksi boikot.
Perang Israel dan Hamas pecah pada 7 Oktober 2023 dan membuat dunia panik. Banyak korban jiwa sipil yang jatuh di pihak Palestina dan tentara di pihak Israel akibat perang ini.
Perang memang membuat banyak kerugian, utamanya korban jiwa di negara yang sedang berkonflik. Namun, dampak negatif perang tidak hanya sampai disitu saja, tetapi berimbas ke Perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnis atau beroperasi di kawasan ini dan sekitarnya.
Perusahaan-perusahaan yang berdomisili di Israel maupun Palestina, bahkan berafiliasi dengan salah satu keduanya juga mulai terdampak perang, mulai dari dana periklanan, pariwisata, hingga rantai pasokan. Pengakuan awal ini muncul ketika para pemimpin dunia semakin khawatir bahwa konflik akan semakin intensif dan seruan internasional untuk gencatan senjata ditolak.
Sektor pertama yang terkena imbas dari perang Israel-Hamas yakni perusahaan maskapai atau penerbangan. Beberapa perusahaan maskapai utamanya yang melayani rute dari dan ke Israel bahkan Timur Tengah mulai terdampak dari perang Israel-Hamas.
Banyak wisatawan internasional yang awal mulanya hendak berwisata ke Timur Tengah, kemudian mereka terpaksa membatalkan perjalanannya karena khawatir konflik Israel-Hamas dapat meluas ke negara tetangga seperti halnya Mesir dan negara-negara di Timur Tengah.
Akibatnya, traffic perjalanan pesawat dari dan ke Timur Tengah pun berkurang drastis.
Berdasarkan data dari perusahaan analisis perjalanan ForwardKeys, pemesanan penerbangan internasional berada 20% di bawah level tahun 2019 dalam tiga minggu setelah dimulainya perang Israel-Hamas pada 7 Oktober dan lebih rendah 5 poin persentase di bawah periode tiga minggu sebelum serangan.
Dalam periode tiga pekan sebelum 7 Oktober, penerbitan tiket dari Timur Tengah hanya 3% di bawah level tahun 2019, menurut data ForwardKeys, yang menggambarkan pemulihan yang stabil di sektor ini dari pandemi Covid-19.
Sebaliknya, dalam periode tiga pekan setelah 7 Oktober, penerbitan tiket dari Timur Tengah 12% lebih rendah dibandingkan tahun 2019 atau selisih 9 poin persentase.
Salah satu contoh perusahaan maskapai Timur Tengah yang terdampak yakni Etihad Airways, maskapai asal Uni Emirat Arab (UAE) yang berbasis di Abu Dhabi ini juga terkena dampak dari perang Israel-Hamas Palestina.
Menurut CEO Etihad, Antonoaldo Neves, dampak dari perang Israel-Hamas cukup terasa bagi perusahaan. Meski masih ada permintaan penerbangan, tetapi tidak seperti sebelum terjadinya perang, alias penerbangannya berkurang.
“Ini berdampak, permintaan kami kepada Israel masih ada. Tapi jumlahnya tidak sebesar dulu,” ujar Neves, dikutip dari CNBC International.
Maskapai ini mulai menerbangi rute Abu Dhabi-Tel Aviv pada April 2021, kira-kira delapan bulan setelah penandatanganan Perjanjian Abraham, yang menormalisasi hubungan antara Israel dan UEA.
Tak hanya maskapai, perusahaan teknologi juga mulai terdampak dari konflik Israel-Hamas. Salah satunya yakni Meta Platforms, pengelola media sosial Facebook, Instagram, dan Whatsapp.
Meta Platforms kesulitan menerapkan kebijakan kontennya secara adil di seluruh platformnya, termasuk Facebook dan Instagram, menurut The Wall Street Journal (WSJ).
Bahkan, perusahaan telah meminta maaf atas kesalahan yang menerjemahkan beberapa bahasa di profil pengguna dari bahasa Arab sebagai “teroris Palestina” beberapa hari lalu.
Di lain sisi, perang Israel yang masih berkecamuk membuat banyak masyarakat di dunia mengecam dengan melakukan Aksi boikot terhadap produk-produk dari perusahaan AS atau Israel.
Akibat aksi ini, beberapa perusahaan utamanya ritel makanan dan minuman terdampak mulai dari turunnya penjualan, tingkat pengunjung dan konsumen.
Adapun salah satunya yakni Starbucks. Akibatnya, saham Starbucks sempat turun menjadi US$ 91,4 per saham pada 12 Oktober, yang merupakan harga terendah sejak boikot dimulai.
Pada perdagangan Jumat kemarin, saham Starbucks ditutup ambles 1,53% ke US$ 105,57, masih lebih tinggi dari perdagangan 12 Oktober lalu. Namun sejatinya, saham Starbucks masih membentuk tren bullish atau penguatan.
Awal mula boikot ditargetkan kepada Starbucks adalah setelah pihak manajemen menggugat serikat pekerja, Starbucks Workers United, pada awal Oktober 2023 lalu.
Gugatan tersebut muncul setelah organisasi tersebut menyatakan solidaritas terhadap warga Palestina. Namun, pernyataan solidaritas yang diunggah melalui X itu telah dihapus.
Menurut keterangan resmi Starbucks, gugatan tersebut dilayangkan karena Starbucks Workers United dianggap menyalahgunakan nama, logo, dan kekayaan intelektual perusahaan.
Namun sebelum konflik Israel-Hamas kali ini, Starbucks pernah merilis kolom tanya dan jawab terkait sikap dukungan terhadap Israel pada 2014 silam. Salah satu pertanyaan terbanyak yang diajukan kepada Starbucks adalah terkait dukungan finansial terhadap Israel.
“Tidak. Hal ini tidak benar. Rumor bahwa Starbucks atau Howard Schultz memberikan dukungan keuangan kepada pemerintah dan/atau tentara Israel adalah sepenuhnya salah,” terang Starbucks kala itu.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/