
Rido Doly Kristian, S.H, S.I.K, M.A.P
sambaranews.com, Jakarta – Proses penerbitan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dalam sektor pertambangan emas kembali menjadi sorotan tajam publik dan pengamat kebijakan. Dokumen ini menjadi syarat utama bagi setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam menjalankan operasi pertambangannya. Kewajiban tersebut termaktub dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2023, menggantikan aturan sebelumnya yaitu Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2020 dan Nomor 16 Tahun 2021.
Namun, per 10 Maret 2022, dari total 2.337 perusahaan pemegang izin tambang mineral, hanya 469 yang RKAB-nya telah disetujui. Sisanya 513 ditolak, 280 dikembalikan untuk perbaikan, dan 1.075 masih dalam proses. Teranyar, menurut data Ditjen Minerba yang dipublikasikan pada 26 Desember 2024, dari 830 permohonan RKAB untuk periode 2024-2026, hanya 336 izin yang disetujui untuk produksi dan 224 untuk non-produksi. Sisanya, 262 ditolak dan 8 masih dalam evaluasi.
Polemik ini bukan hanya menyoal aspek administrasi, tapi berdampak langsung pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tanpa RKAB, perusahaan dilarang berproduksi sehingga tidak dapat menyetor royalti, iuran tetap, hingga Pajak Penghasilan dan PPN atas jasa pihak ketiga. Di sisi lain, masih banyak perusahaan yang tetap menjalankan operasi tambang meskipun belum mengantongi RKAB. Hal ini tidak hanya melanggar regulasi, tetapi juga membuka celah terjadinya kehilangan potensi penerimaan negara.
“Pertambangan emas tanpa RKAB rawan korupsi dan penghindaran kewajiban negara. Namun, birokrasi berbelit juga tidak bisa diabaikan. Kepastian layanan sangat penting bagi investor,” ungkap Rido Doly Kristian, S.H., S.I.K., M.A.P., dalam analisanya.
Proses yang panjang dan minim kepastian telah menciptakan ketidakefisienan sistem. Diketahui sejak kewenangan perizinan tambang ditarik dari daerah ke pusat, setidaknya 1.900 izin harus disesuaikan dengan aturan pusat, termasuk pemenuhan dokumen studi kelayakan, laporan cadangan sumber daya, dan izin lingkungan.
Sanksi administratif yang telah diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba seperti teguran, denda, hingga pencabutan izin, dinilai belum efektif karena lemahnya pengawasan. Minimnya jumlah inspektur tambang menjadi salah satu penyebab lemahnya fungsi pengendalian.
Untuk menghindari hilangnya potensi pendapatan negara dan menjamin keberlangsungan industri pertambangan yang beretika, Rido Doly Kristian menyarankan agar Kementerian ESDM segera membenahi sistem layanan RKAB. Menurutnya, layanan ini harus berbasis pada kepastian waktu, transparansi, dan mudah diakses oleh publik serta pelaku usaha. (vn)